Thursday, June 7, 2007

Aku Bangga Sama Teman-temanku

Hari ini, sebetulnya bukanlah hari yang santai. Hari ini, sore jam 4, saya harus melakukan presentasi ke klien yang kebetulan sebuah perusahaan besar. Tapi, diantara nyiapin materi presentasi, saya masih sempat berkomunikasi dengan teman-teman saya di Yahoo Messanger.

Kebetulan, saya chat dengan teman-teman yang belum terlalu saya kenal. Tapi hasil cerita ngalor-ngidul kesana kemari, akhirnya saya semakin kenal mereka. Tidak hanya semakin kenal, tapi semakin lama saya semakin salut, bangga dan kagum dengan teman-teman saya itu. Mereka hebat-hebat. Mereka punya cita-cita serta kesempatan yang luar biasa menurut ukuran saya. Saya bangga bisa mengenal mereka.

Sebut saja si A. Sekretaris yang saat ini sedang giat menabung.
"Mas, aku mau nerusin kuliah. Aku gak mau menjadi wanita tertinggal. Aku mau membahagiakan Ibuku secara paripurna. Ibu lah yang meminta aku kuliah di sekretaris. Dan sekarang aku juga ingin pergi ke Haji bersama Ibu."
Begitu kira-kira kalimat si A tadi siang. Pembicaraan kami terputus karena saya harus makan siang.

Ada lagi si B. Wanita usia kepala 3 dan sedang berjuang agar kuliahnya cepat selesai.
"Aku di kedokteran Mas. Untungnya aku dibiayai kuliahnya, dibantu sama profesorku. Tapi aku tetap harus kerja di perusahaan yang membiayai S2 aku. Sekarang ini lagi menurun semangatnya. Doain ya Mas, semoga bisa selesai sebelum 5 tahun. Soalnya belum ada yang lulus di bawah 5 tahun, jadi aku pengen jadi yang terbaik".
Masya Allah.... S3 kedokteran. Kuliah gratis. Masih bisa kerja artinya masih punya penghasilan. Itu chatting di YM sebelum saya berangkat presentasi di jalan Thamrin, Jakarta.

Pas adzan Maghrib, saya sudah sampai lagi di kantor. Setelah sholat, saya duduk lagi di meja dan langsung menyalakan YM. Seorang teman kirim private message dan cerita kalau dia akan melakukan perjalanan ke Eropa Timur dan Rusia. "Wah, kamu hebat," komentar saya.
"Gak ah Mas, biasa saja. Cuma seminggu. Orang lain juga bisa kok mas. Lagipula ini khan tugas kantor."
Justru itulah yang membuat saya angkat topi, salut. Khan kantor tidak sembarangan kirim orang dong? Apalagi sampai ke luar negeri. Pastinya teman saya punya prestasi tertentu sehingga dianggap layak mewakili perusahaan atau kantornya ke negeri seberang.

Itulah sedikit cerita dari teman saya yang hari ini bertemu dan berbincang di dunia maya. Saya bangga sama kalian. Saya akan sangat sedih jika kesempatan yang kalian dapat, kalian sia-siakan.

Dan saat ini saya berkeyakinan, bahwa semua teman-teman saya pasti punya hal-hal yang bisa dibanggakan. PASTI. Suatu saat saya akan bisa mengetahui dan semakin bangga berada diantara mereka. (Dua tangan tangkup di dada. Alhamdulillah hirabbil alamain)

Wednesday, June 6, 2007

Si Narko Yang Lugu

Narko adalah nama anak muda yang jagain rumah saya. Narko adalah keponakan Pak Min, satpam di kawasan rumah saya. Narko sudah lulus STM di kampungnya dan berniat mencari kerja tidak jauh dari pamannya yang membuka warung di pinggir perumahan tempat saya tinggal.

Tugas Narko sehari-hari adalah mencuci, menyetrika, ngepel, bersih-bersih dan tentu saja jaga rumah. Memasak bukanlah tugas utama Narko. "Saya gak bisa masak, Pak. Kalau nasi saya sudah belajar dari Bude," aku Narto suatu hari, ketika saya menawarkan dia untuk tinggal di rumah saya. Bagi saya tidak masalah karena makanan bisa beli.

Setelah 2 bulan lebih tinggal di rumah, banyak kejadian kecil yang lucu karena keluguan Narko. Ya, lugu karena tidak tahu. Tidak tahu karena memang Narko tidak mau tahu. Menggelikan bagi saya.

Sudah menjadi kebiasaan, dalam perjalanan pulang saya menelepon Narko, menanyakan makanan apa yang ada di lemari. "Cuma nasi putih Pak," itu jawaban yang paling sering. Kalau sudah begini, saya mampir ke warung atau restoran yang bertebaran di tepi jalan antara kantor dan rumah.

Sekali waktu, Narko menjawab "Tadi Bude ngasih sayur Pak." Oke, saya tetap ke warung membeli lauk, lalu dibungkus dan dibawa pulang. Sampai di rumah, saya buka lemari makan dan saya kaget. Sayur yang maksud oleh Narko adalah tumis kikil! Kikil sapi, yang dioseng-oseng dengan minyak sayur trus diberi bawang merah, bawang putih dan beberapa bumbu lainnya. Ya, dari kaki sapi alias hewan bukan dari tumbuh-tumbuhan. Kok bisa-bisanya Narko mengkategorikan kikil sebagai sayur ya? Bagi saya ini menggelikan.

Lain hari, ketika dalam perjalanan pulang, saya menelpon. Seperti biasa, saya menanyakan makanan apa yang ada di lemari. Narko menjawab,"Ada semur hati Pak. Tadi beli di warung Bude". Sambil nyetir, terbayang oleh saya daging berkuah coklat yang segar yang menjadi santapan makan malam saya ketika sampai di rumah. Apa ya sayur yang cocok dengan semur hati itu? Akhirnya saya mampir di sebuah warung nasi untuk membeli tempe dan tahu goreng untuk menjadi pelengkap semur hati yang sudah tersaji di lemari.

Sampai di rumah, setelah ganti baju, sebelum mandi, saya berniat makan malam terlebih dahulu. Saya buka lemari makan dan saya kaget melihat 'semur hati' yang dibilang oleh Narko. Tidak ada kuah coklat segar. Yang ada hanya beberapa potong hati yang tergolek kering, seperti hati ampela di tukang bubur ayam, yang telah dicopot dari lidi satenya. Kok bisa ya, Narko menyebut itu sebagai 'semur hati'? Hilang selera makan saya.....
Narko memang lugu. Menggelikan, bahkan hampir menjengkelkan... urgghhhhhhhh!!!!